Bismillah,
Momen kejayaan masa lalu kadang-kadang memang menjadi bayang-bayang manis sekaligus kenyataan yang seram. Seram dalam artian bahwa faktanya jauh lebih banyak penerus yang menyia-nyiakan nyawa yang bergelimpangan demi memberikan kita semua -sekarang- hidup yang senyaman ini. Bayang-bayang manis dalam artian bahwa, seolah rasa merdeka ini diberikan begitu saja untuk kita nikmati tanpa batasan dan tanggung jawab tertentu.
Aku merasa sedih bercampur miris begitu membuka linimasa beberapa jejaring sosial hari ini. Remaja seusiaku malah sibuk mengeluhkan rambutnya yang susah diaturlah, pacarnya yang tak kunjung membalas pesan singkatnyalah, sibuk mengeluhkan masakan rumah yang tidak enaklah, cucian yang menumpuklah, dan lebih buruknya, mengeluhkan satu-buah-jerawat-merah-muda-yang-tumbuh-subur-dan-bulat-ranum-di-sudut-kiri-pipi-kanannya ! Ya, mengeluhkan semua hal remeh-temeh yang sebenarnya sama sekali tidak perlu dikeluhkan. Bukan hanya remaja, beberapa orang dewasa pun terlihat masih sibuk memperbaharui status-status mereka tentang wanita cantik, wisata kuliner lezat, foto sepatu baru bermerek yang baru dibeli kemarin dari luar negeri. Apa memang seperti ini Merdeka yang ingin dicapai para pejuang dengan mempertaruhkan jiwa raga serta perasaan mereka ?
Mungkin kata “Merdeka” efeknya kecil sekali bagi kita semua saat ini, kecuali bagi orang yang sudah hidup beberapa tahun sebelum 68 tahun yang lalu. Karena kita sama sekali tidak merasakan beda antara sebelum dan sesudah merdeka.
Pernah suatu waktu aku bertanya pada guruku mengenai makna kemerdekaan yang sebenarnya. Beliau menatap ku lembut dan mulai bercerita.
“Merdeka itu berarti kaya nak. Kau sudah merdeka jika kau sudah kaya akan ilmu dan pengetahuan, tak perlu lagi dibodohi orang luar dalam urusan pribadi keluargamu. Misalnya kau tak perlu bantuan temanmu untuk menghitung berapa buah kelereng yang kau miliki, bisa saja sebenarnya kau punya 50 buah dan temanmu hanya bilang kau punya 20 ? dengan mengambil 30 yang lain untuk dirinya sendiri. Dalam konteks lebih besarnya anakku, Merdeka berarti kau mampu menghitung kekayaan alam negara mu sendiri dan mengelolanya dengan baik, bukan meminta negara lain mengelolanya dan kau hanya mendapat sebagian kecil saja.
Merdeka itu berarti kaya anakku. Kau sudah merdeka jika kau sudah kaya akan pemahaman baik. Kau tahu cerita tentang seseorang yang dijuluki Khulafaur Rasyidin kelima, Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz ?
Pernah suatu saat beliau ditanya “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau mau mewasiatkan sesuatu kepada anak-anakmu?
Umar Abdul Aziz menjawab: “Apa yang ingin kuwasiatkan? Aku tidak memiliki apa-apa”
“Mengapa engkau tinggalkan anak-anakmu dalam keadaan tidak memiliki?”
“Jika anak-anakku orang soleh, Allah lah yang menguruskan orang-orang soleh. Jika mereka orang-orang yang tidak soleh, aku tidak mau meninggalkan hartaku di tangan orang yang mendurhakai Allah lalu menggunakan hartaku untuk mendurhakai Allah”
Pada waktu lain lagi, Umar bin Abdul-Aziz memanggil semua anaknya : “Wahai anak-anakku, sesungguhnya ayahmu telah diberi dua pilihan, yang pertama menjadikan kamu semua kaya dan ayah masuk ke dalam neraka, dan kedua, kamu miskin seperti sekarang dan ayah masuk ke dalam surga (karena tidak menggunakan uang rakyat). Sesungguhnya wahai anak-anakku, aku telah memilih surga.” (beliau tidak berkata : aku telah memilih kamu susah)
Umar Abdul Aziz menjawab: “Apa yang ingin kuwasiatkan? Aku tidak memiliki apa-apa”
“Mengapa engkau tinggalkan anak-anakmu dalam keadaan tidak memiliki?”
“Jika anak-anakku orang soleh, Allah lah yang menguruskan orang-orang soleh. Jika mereka orang-orang yang tidak soleh, aku tidak mau meninggalkan hartaku di tangan orang yang mendurhakai Allah lalu menggunakan hartaku untuk mendurhakai Allah”
Pada waktu lain lagi, Umar bin Abdul-Aziz memanggil semua anaknya : “Wahai anak-anakku, sesungguhnya ayahmu telah diberi dua pilihan, yang pertama menjadikan kamu semua kaya dan ayah masuk ke dalam neraka, dan kedua, kamu miskin seperti sekarang dan ayah masuk ke dalam surga (karena tidak menggunakan uang rakyat). Sesungguhnya wahai anak-anakku, aku telah memilih surga.” (beliau tidak berkata : aku telah memilih kamu susah)
Bukankah itu pemahaman yang indah nak ? Pemahaman baik seperti itu yang kiranya tidak dimiliki para pemimpin penerus kemerdekaan ini. Alih-alih menyejahterakan bangsa malah menyejahterakan keluarga sendiri bukan ? Setelah cendana dan cikeas mungkin akan ada lebih banyak lagi nepotisme di negeri tercinta ini, karena sejatinya kita belum sepenuhnya merdeka dari sifat ke-egoisan manusia kita.
Pemahaman baik milik Khalifah Umar bin Abdul Aziz tentu tidak bertujuan untuk menyengsarakan keluarganya sendiri, dengan pemahaman yang baik walaupun anak-anak beliau ditinggalkan tidak berharta dibandingkan anak-anak gubernur lain yang kaya. Setelah kejatuhan Bani Umayyah dan masa-masa setelahnya, keturunan Umar bin Abdul-Aziz adalah golongan yang kaya berkat ke-tawakkal-an Umar bin Abdul-Aziz. Cerita yang indah bukan nak ?
Pemahaman baik milik Khalifah Umar bin Abdul Aziz tentu tidak bertujuan untuk menyengsarakan keluarganya sendiri, dengan pemahaman yang baik walaupun anak-anak beliau ditinggalkan tidak berharta dibandingkan anak-anak gubernur lain yang kaya. Setelah kejatuhan Bani Umayyah dan masa-masa setelahnya, keturunan Umar bin Abdul-Aziz adalah golongan yang kaya berkat ke-tawakkal-an Umar bin Abdul-Aziz. Cerita yang indah bukan nak ?
Merdeka berarti kaya anakku, dalam artian yang sesungguhnya. Andai pemimpin kita adalah orang berkharisma, jujur dan berkarakter seperti Umar bin Abdul Aziz, akan ada zaman dimana seluruh orang di negeri ini tidak memenuhi syarat lagi mendapatkan zakat, karena semuanya sudah memiliki harta yang berlimpah, seperti pada masa kepemimpinan beliau yang tidak sampai tiga tahun. Merdeka berari kaya nak. jika kau sudah kaya, kau tidak akan ragu lagi memberikan yang terbaik untuk bangsa. Tidak akan pernah ragu”
“Lalu mengapa pemerintahan kita seperti ini guru ? tidak kah mereka juga paham mengenai makna merdeka yang kau ceritakan padaku ?”
Guruku menghela nafas pelan, matanya perlahan sayu “Ya, mereka tau nak, tapi pemahaman yang baik itu belum sampai pada hati mereka. Karena mereka manusia. Mereka mengenali Allah kemudian mendurhakaiNya, mengenali syaitan kemudian mengikutinya, mengenali dunia kemudian condong kepadanya”
———————————————————————–
Makassar, 17-08-2013
Tertawa miris saat seorang laki-laki menolak mengibarkan bendera di depan rumahnya “lorong kami masih perang dengan lorong sebelah, belum merdeka”
Tertawa miris saat seorang laki-laki menolak mengibarkan bendera di depan rumahnya “lorong kami masih perang dengan lorong sebelah, belum merdeka”
No comments:
Post a Comment