Friday, October 18, 2013

Simfoni Rintik Hujan

Simfoni Rintik Hujan (Makassar, saat hujan turun di puncak kemarau)
Langit dan pelangi, lagi-lagi.

Kepada Ren, sang pria hujan yang tidak takut hilang demi mengantarkan pelangi menuju langit,
Hei ren, Malam selalu begitu mudahnya hilang, tergelincir larut meninggalkanku sendiri dalam hening. Tapi tidak dengan cinta, seberapapun kerasnya aku menolak kehadirannya yang biasanya mampu menghilangkan seratus persen hasratku untuk memahami kata-demi-kata yang terlontar dari mulut pendongeng ternama, tetap tidak bisa. Entah kenapa.  
Hari ini tetap sama, di antara selaput bening memori kemarin, sepekan yang lalu, berbulan yang lalu bahkan entah sejak pertama kali otak mampu menyimpan memori selalu ada sesosok bayangan yang terbersit melintas cepat dalam sebuah kabut khayal. Tapi bahkan sampai sekarang aku belum bisa menebak pemilik bayangan itu, walaupun ada satu nama yang aku harap, nama mu. tidak ada yang bisa memastikan.
Mungkin kamu tidak akan mengerti celoteh masa muda yang diceritakan oleh payung yang merindukan hujan, karena hatiku dan hatimu (mungkin) belum meresonansikan rasa yang sama. Cinta.
Iya, lagi dan lagi ini adalah tentang cinta, kuharap kamu tak bosan membacanya. Aku pernah mencinta, pernah dicinta, pernah di dua, pernah sengsara, pernah bahagia, semua rasa ada. Cinta memberi warna seperti satu juta garis spektrum pelangi tak terdefinisi itu, memberi rasa seperti wangi petrichor saat hujan tanpa malu-malu mendekap bumi dalam rindu.
Pujangga cinta menyangkal telah menaruh racun approdisiac di anggur yang kuminum. Tapi siluet tubuhmu berpendar merah muda di mataku. Tidak sama seperti ilusi mata yang diperlihatkan oleh pesulap.  Pendar itu berbeda. merah muda yang kemudian berubah jingga membuatmu tampak lebih istimewa. Ah, sial.
Aku merindumu seperti ikan dasar laut dalam merindukan cahaya purnama, sayangnya cahaya purnama tidak akan bisa menembus kelamnya malam di dasar laut itu. si ikan hanya harus beradaptasi dengan hitam, atau mengubah wujudnya menjadi buih di permukaan jika ia ingin tetap menatap rembulan.
Ren, pilu belum sepadan dengan rasaku ingin memilikimu hanya untukku seorang diri. Tawa belum bisa meng-ekspresikan rasaku melihat dan menyentuh nyatamu. Dan air mata hanya mewakili sedikit sekali rasaku yang cemas membayangkan masa depan tanpamu.    
Aku disini hari ini bagaikan suku aborigin di tengah kemarau merindukan setetes rintik hujan. Kau yang entah kapan akan menemuiku di ujung pelangi seberang, kini bias pelangi milikmu semakin pudar, sementara aku belum sampai setengah jalan menujumu.
Ren, simfoni ini ku dendangkan saat hening, sepi, rindu menemani malamku. Ingin mengetuk perhatianmu, tapi tak sanggup dengan konsekuensi mengusik wajah istirahatmu yang tampak tampan dan tenang disana.
Simpul simfoni ini hanya satu. Ingin mengatakan padamu, aku rindu. Rasanya ingin menangis karena rindu.


No comments:

Post a Comment