Simfoni Rintik Hujan (Makassar, saat hujan turun di
puncak kemarau)
Kepada
Ren, sang pria hujan yang tidak takut hilang demi mengantarkan pelangi menuju
langit,
Hei
ren, Malam selalu begitu mudahnya hilang, tergelincir larut meninggalkanku
sendiri dalam hening. Tapi tidak dengan cinta, seberapapun kerasnya aku menolak
kehadirannya yang biasanya mampu menghilangkan seratus persen hasratku untuk
memahami kata-demi-kata yang terlontar dari mulut pendongeng ternama, tetap
tidak bisa. Entah kenapa.
Hari
ini tetap sama, di antara selaput bening memori kemarin, sepekan yang lalu,
berbulan yang lalu bahkan entah sejak pertama kali otak mampu menyimpan memori
selalu ada sesosok bayangan yang terbersit melintas cepat dalam sebuah kabut
khayal. Tapi bahkan sampai sekarang aku belum bisa menebak pemilik bayangan
itu, walaupun ada satu nama yang aku harap, nama mu. tidak ada yang bisa
memastikan.
Mungkin
kamu tidak akan mengerti celoteh masa muda yang diceritakan oleh payung yang
merindukan hujan, karena hatiku dan hatimu (mungkin) belum meresonansikan rasa
yang sama. Cinta.
Iya,
lagi dan lagi ini adalah tentang cinta, kuharap kamu tak bosan membacanya. Aku
pernah mencinta, pernah dicinta, pernah di dua, pernah sengsara, pernah bahagia,
semua rasa ada. Cinta memberi warna seperti satu juta garis spektrum pelangi
tak terdefinisi itu, memberi rasa seperti wangi petrichor saat hujan tanpa
malu-malu mendekap bumi dalam rindu.
Pujangga
cinta menyangkal telah menaruh racun approdisiac di anggur yang kuminum. Tapi
siluet tubuhmu berpendar merah muda di mataku. Tidak sama seperti ilusi mata
yang diperlihatkan oleh pesulap. Pendar
itu berbeda. merah muda yang kemudian berubah jingga membuatmu tampak lebih
istimewa. Ah, sial.
Aku
merindumu seperti ikan dasar laut dalam merindukan cahaya purnama, sayangnya
cahaya purnama tidak akan bisa menembus kelamnya malam di dasar laut itu. si
ikan hanya harus beradaptasi dengan hitam, atau mengubah wujudnya menjadi buih
di permukaan jika ia ingin tetap menatap rembulan.
Ren,
pilu belum sepadan dengan rasaku ingin memilikimu hanya untukku seorang diri.
Tawa belum bisa meng-ekspresikan rasaku melihat dan menyentuh nyatamu. Dan air
mata hanya mewakili sedikit sekali rasaku yang cemas membayangkan masa depan
tanpamu.
Aku
disini hari ini bagaikan suku aborigin di tengah kemarau merindukan setetes
rintik hujan. Kau yang entah kapan akan menemuiku di ujung pelangi seberang,
kini bias pelangi milikmu semakin pudar, sementara aku belum sampai setengah
jalan menujumu.
Ren,
simfoni ini ku dendangkan saat hening, sepi, rindu menemani malamku. Ingin
mengetuk perhatianmu, tapi tak sanggup dengan konsekuensi mengusik wajah
istirahatmu yang tampak tampan dan tenang disana.
Simpul
simfoni ini hanya satu. Ingin mengatakan padamu, aku rindu. Rasanya ingin
menangis karena rindu.
No comments:
Post a Comment