Wednesday, June 25, 2014

Sebuah Surat

Bismillah,
diantara lembaran catatan yang sudah usang, aku menemukan sebuah surat. Lupa siapa yang menuliskannya. daripada tersimpan begitu saja, mungkin ada baiknya kamu juga membacanya

~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~

Dik, aku tidak menyalahkanmu ketika anak seusiamu merasakan cinta. Cinta memang sudah Allah ciptakan sejak Adam dan Hawa. Awalnya memang mereka saling mencinta dengan damai di surga, tapi karena ketentuan Allah, keduanya diturunkan ke bumi di daerah yang berbeda. Adam di India, Hawa di Jeddah. Maka Adam menjadi pejuang cinta pertama di muka bumi. Ia terus berjalan kaki dari India, demi menemukan kembali separuh jiwanya sampai akhirnya Allah pertemukan mereka lagi di Jabal Rahmah. Suatu rasa yang memang layak diperjuangkan, karena akan tentram bila bersama, dan akan gelisah bila berpisah.

Dik, sakit adalah nama lain dari cinta ketika kita tidak memiliki izin halalnya. Karena memang sakit rasanya ketika mengetahui yang kita cintai bukanlah milik kita. Rindu ya ngapain. Cemburu ya bukan hak kita. Sudah sia2 karena rindu dan cemburunya tidak berpahala, waktu dan pikiran terkuras pula. Aaah... Air mata? Jangan bohongi kakakmu ini jika kamu tak pernah menangis karenanya.
Dik, anak seusiamu memang tak mengenal rasa takut. Laki2 maupun perempuan dengan berani dan mudahnya mengatakan “aku cinta kamu”. Tidak taukah? Kata2 tersebut menuntut konsekuensi. Seperti ketika kita berkata cinta kepada ummi dan abi. Maka pembuktiannya adalah keberbaktian kita kepada mereka. Begitu pula jika kamu berani mengatakan, “aku cinta kamu” kepadanya, maka pembuktiannya adalah kehalalan cinta kalian. Jika sudah halal, sungguh hal remeh seperti sms “aku cinta kamu” akan bernilai ibadah, tapi berpotensi maksiat jika sebaliknya.
Dik, ketika rasa itu begitu menusuk, begitu dominan menguasai akal... Walau ternyata ia seorang pendusta, walau ternyata ia suka main mata, walau ternyata ia mengincar kamu punya harta, cintamu tetap membahana kepadanya.. Tolong, tolong kamu ingat kisah2 mereka yang tetap menempatkan cinta kepada Allah di tempat yang tertinggi. Semoga hal itu bisa memberimu kekuatan bahwa kamu pun pasti bisa rasional. Kamu pasti bisa mengalahkan cintamu kepadanya dan memenangkan cintamu kepadaNya. Toh kalian sama2 manusia.
Dik, isilah waktumu dengan kegiatan apapun yang baik. Jangan sisakan waktumu untuk memikirkannya, apalagi bermaksiat dengannya. Tukar waktu sms-an, telponan, melamunmu, dan mellowmu dengan berorganisasi, menjadi relawan, atau datang kajian. Jangan isi masa mudamu dengan galau picisan semata; menangis karena dicuekkin, menabung untuk belikan jam tangan idamannya, melayang karena dijanjikan “aku milikmu seutuhnya.” Menyedihkan. Jika kamu memang merasa memiliki persediaan cinta yang besar, bagikanlah cintamu kepada anak2 yatim atau orang2 berkekurangan. Bermainlah ke panti asuhan. Sisihkan uang jajanmu untuk mereka, barokah insyaAllah. Berilah senyum termanismu untuk mereka, barokah insyaAllah. Banyak cara untuk menyalurkan energi cinta. Banyak cara memanfaatkan waktu. Banyak cara meluruhkan hasrat potensi maksiat.
Dik, berserahlah kepada Penggenggam Hati. Mintalah kepadaNya untuk menghadiahkan rasa cinta seperti ini nanti saja. Nanti; ketika dengan saling berjabat tangan saja justru akan merontokkan dosa kalian berdua. Mintalah kepadaNya untuk menjaga kemurnian hati dan cintamu. Hingga yang bisa menikmati kemurnian itu hanyalah suamimu seorang kelak. Mintalah kepadaNya untuk memberimu kesabaran menghadapi fitnah akhir zaman; ketika mendengar teman2mu yang lain dengan riangnya bercerita tentang romantisnya kekasihnya, dan ketika melihat mereka dengan ringannya saling berjabat erat. Mungkin mereka tidak tau, lebih baik tersentuh bara api daripada bersentuhan dengan kulit lembut namun tidak halal baginya.
Dik, jangan sampai ilah-mu tertukar. Menuruti peraturannya, tapi tidak menuruti perintahNya. Menuruti “ikat komitmen denganku, kulamar kau suatu saat nanti”, tapi  tidak menuruti “jangan dekati zina”. Ilahmu itu siapa?  Imanmu dimana?
Dik, jangan manjakan perasaanmu. Jika kamu senang jika ada yang memperhatikanmu, kurangkah perhatian ummi bangun paling pagi demi masak untuk sarapan kita semuanya? Kurangkah perhatian abi berpuluh2 kilometer bolak-balik kantor-rumah demi kita bisa sekolah? Aku saja menangis demi menulis ini. Masihkah kamu mengemis perhatian dari orang antah berantah itu? Turunkan egomu. Bahagiakan ummi abi; berprestasilah, santunlah. Tau diri :)
Dik, seperti yang aku bilang di awal. Cinta memang layak untuk diperjuangkan. Cinta itu adalah ketika kita berusaha mati2an untuk kebahagiaan dan kebaikan orang yang kita cintai. Tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Dan cara memperjuangkan cinta itu ada dua. Pertama, kamu mati2an mengambilnya. It means kamu segera menikah dengannya. Kedua, kamu mati2an mengembalikannya. Yang artinya kamu mundur, menjaga dirimu dan dirinya dari ketiadaan ridha Allah. Mati2an. Tidak setengah2.
Dik, jangan terkecoh dengan definisi siap menikah zaman sekarang. Siap menikah bukan berarti bergaji tetap dan sudah memiliki rumah. Itu bukan realistis, tapi materealistis. Jika kacamata siap menikahnya adalah kemapanan, bagaimana pendapatmu tentang Rasulullah yang justru menerima pinangan Ali untuk Fatimah? Ali belumlah mapan. Padahal sebelumnya telah banyak sahabat Rasul lain yang jauh lebih mapan sudah datang untuk meminang Fathimah. Tapi Rasulullah tolak. Sungguh bukan kemapanan yang menjadi patokan. Menikahlah ketika kamu sudah siap menikah; yaitu sudah siap menanggung konsekuensi dan kehidupan pasca nikah bersama dengan pasangan, saling melengkapi, dan melaju sinergis dalam kebaikan.
Dik, kakakmu ini bukanlah orang yang tidak pernah kenal perasaan jenis ini sebelum menikah. Kamu tau sendiri. Tapi waktu itu aku berusaha, dengan sekuat2 usaha untuk melepaskan diri dari kenyamanan dan kebahagiaan semu. Ya, semu. Benar2 semu. Karena justru aku gundah gulana, aku memang (sepertinya) dicinta olehnya, tapi di lain sisi aku takut dimurka olehNya. Alhamdulillah, bisikan itu datang, aku sharekan untukmu, ya “Lebih baik sakit hati saat ini dibanding mati hati. Tidak peka membedakan, bahkan tidak bisa membedakan mana yang benar mana yang salah. Ilah yang sudah tertukar. Jika orang sakit masih bisa sembuh dan hidup normal, sedangkan kalau orang sudah mati?  Bisakah ia hidup kembali? Rasanya hati pun seperti itu.”

Dik, jangan khawatir dengan ketentuan Allah, jangan mengada2, jangan mendahului dengan sok komitmen2an, jangan terpedaya dengan janji manis. Ini adalah ujian keimanan. Ini adalah ujian aqidah. Seberapa besar kamu mempercayai perkataanNya, janjiNya, dan rezekiNya. Sungguh yang tampak manis, belum tentu barokah. Bisa saja itu adalah gula2 yang ditaburkan oleh setan yang selalu menginginkan anak manusia tergelincir dalam kesalahan. Putuskan dengan berani dan tanpa tawar, maju atau sudahi.




No comments:

Post a Comment